Senin, 09 April 2018

KOTAGEDE, JEJAK SEJARAH KEBESARAN KERAJAAN MATARAM ISLAM

   Salam jumpa kembali pembaca dan sahabat Blogger, dalam kesempatan kali ini sudutyogyaistimewa akan mengulas sebuah tempat bersejarah yang merupakan cikal bakal terbentuknya dinasti dan keturunan Mataram Islam yang sekarang diteruskan oleh keturunan rakyat Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
   Tempat ini bernama Kotagede, sekarang menjadi sebuah Kecamatan di wilayah Kotamadya Yogyakarta. Kotagede ini dulu adalah pusat atau Ibukota pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, tempat ini sebelum menjadi pusat pemerintahan negeri Mataram Islam adalah sebuah hutan yang bernama Alas Mentaok. Awal sejarah tempat ini dulu merupakan hadiah pemberian dari Sultan Hadiwijoyo (Raja Kerajaan Pajang) kepada Ki Ageng Pemanahan setelah berhasil menumpas Aryo Penangsang Adipati Jipang yang merupakan seteru abadi Sultan Hadiwijoyo. Ki Ageng Pemanahan bisa disebut sebagai pemimpin pertama Mataram Islam yang waktu itu masih disebut Pedukuhan Mataram atau cikal bakal keturunan generasi Mataram Islam selanjunya. Ki Ageng Pemanahan sendiri adalah cucu dari Ki Ageng Selo, pemimpin sebuah daerah yang bernama Selo dan seorang tokoh spiritual sekaligus pendekar sakti yang legendaris karena dari hikayat turun temurun dia dipercaya bisa menangkap petir hanya dengan tangan kosong. Jadi jika ditarik secara garis leluhur maka leluhur dinasti keturunan orang-orang Mataram Islam sampai sekarang menjadi Yogyakarta dan Surakarta berasal dari leluhur orang Selo, Selo adalah wilayah yang berada di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
    Tahun 1558 adalah awal dimulainya sejarah Mataram Islam dan Kotagede, karena di tahun itulah Sultan Hadiwijoyo memberikan wilayah Mataram atau yang pada masa itu juga disebut Alas Mentaok kepada Ki Ageng Pemanahan. Sebenarnya agak terlambat Sultan Hadiwijoyo memberikan hadiah tanah Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan karena sang Sultan selalu mengulur-ulur waktu penyerahannya, selain itu Sultan Hadiwijoyo pun juga sebenarnya menyimpan kekhawatiran karena dari ramalan Sunan Prapen salah satu ulama besar yang disegani di tanah Jawa saat itu bahwa kelak Mataram akan menjadi sebuah Kerajaan besar yang pada akhirnya nanti kebesarannya mampu mengalahkan dan melibas Kerajaan Pajang sendiri. Ki Ageng Pemanahan sebenarnya sudah sangat kecewa karena hadiah tanah Mataram yang dijanjikan Sultan hadiwijoyo tidak kunjung diberikan sampai akhirnya Ki Ageng Pemanahan mengadu kepada gurunya yaitu Sunan Kalijogo yang juga merupakan guru dari Sultan Hadiwijoyo sendiri, jadi sebenarnya antara Ki Ageng Pemanahan dan Sultan Hadiwijoyo adalah saudara seperguruan. Sunan Kalijogo bersama Ki Ageng Pemanahan lalu datang menghadap kepada Sultan Hadiwijoyo, saat pertemuan Sunan Kalijogo sempat marah kepada Sultan Hadiwijoyo karena sebagai seorang Raja tidak pantas bersikap seperti itu karena Sultan Hadiwijoyo cenderung akan mengingkari janjinya kepada Ki Ageng Pemanahan yang merupakan saudara seperguruannya sendiri dan sebagai Raja jika sudah berjanji harus menepati atau dalam istilah bahasa jawanya "sabda Pandita Ratu, tan kena wola-wali" (jika seorang Raja sudah bersabda tidak boleh di ingkari). Setelah didesak oleh Sunan Kalijogo mengapa Sultan Hadiwijoyo tidak kunjung memberikan tanah Mataram yang sudah menjadi hak Ki Ageng Pemanahan, Sultan Hadiwijoyo berterus terang bahwa dia khawatir akan ramalan Sunan Prapen bahwa kelak Mataram akan menjadi sebuah negeri besar yang akan melibas kebesaran Pajang.
    Setelah Sunan Kalijogo mendengar alasan dan kekhawatiran Sultan Hadiwijoyo, akhirnya Sunan Kalijogo memberikan jalan keluar yaitu supaya Ki Ageng Pemanahan Mengucapkan sumpah kepada Sultan Hadiwijoyo bahwa Ki Ageng Pemanahan akan selalu setia kepada Pajang, tidak akan mbalelo (memberontak), dan tidak akan memiliki niat macam-macam ingin merdeka apalagi sampai melepaskan diri dari Pajang. Dengan disaksikan Sunan Kalijogo dan Sultan Hadiwijoyo, Ki Ageng Pemanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijoyo serta tidak akan memberontak kepada Pajang, akan tetapi sumpah setia Ki Ageng Pemanahan hanya berlaku untuk dirinya sendiri karena Ki Ageng Pemanahan tidak berani mendahului takdir Tuhan dengan meramalkan apa yang terjadi di kemudian hari saat dirinya sudah tidak ada lagi. Setelah mendengar sumpah setia dari Ki Ageng Pemanahan yang merupakan kakak seperguruan dari Sultan Hadiwijoyo, sang Sultan pun menjadi lega hatinya dan dengan ikhlas menyerahkan tanah Mataram sebagai hadiah dan sudah menjadi hak Ki Ageng Pemanahan.
    Segenap keluarga besar dan saudara Ki Ageng Pemanahan pun berangkat menuju Mataram, tahun 1558 Masehi dibangunlah sebuah desa yang bernama Pedukuhan Mataram dengan Ki Ageng Pemanahan sebagai pemimpinnya didampingi Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) sebagai wakilnya. Seiring waktu berjalan dan hari demi hari terus berganti Mataram semakin berkembang pesat karena kemampuan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Martani dalam memimpin Mataram sangat mumpuni, banyak pendatang dari luar wilayah Mataram bahkan sebagian kecil rakyat Pajang masuk menjadi warga Pedukuhan Mataram sehingga membuat Pedukuhan Mataram semakin ramai dan perekonomiannya meningkat pesat, konon saat itu Pedukuhan Mataram perkembangannya menyerupai wilayah setingkat Kadipaten.
    Saat Mataram dalam perkembangannya pada tahun 1584, Ki Ageng Pemanahan wafat. Tampuk kepemimpinan Mataram beralih kepada putra sulung Ki Ageng Pemanahan yang bernama Danang Sutowijoyo dengan Ki Juru Martani masih tetap sebagai wakilnya sekaligus penasehat. Perkembangan Mataram yang sangat pesat dan luar biasa tersebut membuat resah hati Sultan Hadiwijoyo, dia takut ramalan Sunan Prapen akan menjadi kenyataan, apalagi Sultan sering mendengar desas-desus atau kabar burung yang memberitahukan bahwa Danang Sutowojoyo berniat memberontak dan merdeka dari Pajang, tetapi Sultan masih bisa menahan diri dan tetap berdoa semoga hal-hal yang buruk mengenai Mataram dan Pajang tidak akan terjadi.
    Akhirnya kekhawatiran Sultan Hadiwijoyo memang terjadi, Mataram di bawah kepemimpinan Danang Sutowijoyo memberontak dan ingin merdeka dari kekuasaan Pajang, tahun 1587 perang antara Mataram dan Pajang tak bisa dihindari, meskipun kekuatan militer Pajang saat itu jauh melebihi kekuatan Mataram tapi Pajang berhasil dikalahkan. Konon menurut legenda dari Babad Tanah Jawa keberhasilan Mataram dalam mengalahkan Pajang karena Danang Sutowijoyo meminta bantuan gaib kepada Kanjeng Ratu Kidul penguasa Pantai Selatan dan Nyai Endang Cuwiri salah satu Penguasa gaib gunung Merapi, saat pertempuran antara tentara Pajang dan tentara Mataram, para prajurit beserta panglima Pajang seolah melihat tentara Mataram sangat banyak dan berlipat-lipat jumlahnya sehingga meruntuhkan nyali tentara Pajang, hal tersebut berkat bantuan Kanjeng Ratu Kidul yang memerintahkan pasukan gaib laut selatan untuk membantu pasukan Mataram sehingga seolah-olah pasukan Mataram dilihat dari kejauhan sangat banyak jumlahnya serasa melebihi pasukan Pajang, pihak pajang juga kewalahan karena tidak sedikit prajuritnya yang tewas secara misterius disebabkan prajurit gaib laut selatan yang membunuhi secara tidak kasat mata para Prajurit Pajang. Selain itu juga karena kecerdikan siasat Danang Sutowijoyo yang melakukan teror kepada pasukan Pajang saat malam hari, pasukan Mataram yang jumlahnya tidak seberapa diperintahkan masing-masing membawa 5 obor dan berpencar di sekitar bukit yang mengelilingi perkemahan pasukan Pajang sambil berteriak-teriak menantang pasukan Pajang sehingga terlihat di bukit tersebut seolah-olah pasukan Mataram yang banyak sekali jumlahnya mengepung pasukan Pajang. Moral dan nyali pasukan Pajang semakin tertekan, sebagian besar sudah kehilangan semangat bertempur akibat gangguan dari Kanjeng Ratu Kidul, Nyai Endang Cuwiri, dan siasat teror Danang Sutowijoyo. Dan tepat pada saat pertempuran di wilayah Prambanan (perbatasan Pajang-Mataram) tersebut tiba-tiba Gunung Merapi meletus dengan dahsyat, menurut legenda meletusnya Gunung Merapi tersebut karena bantuan dari salah satu penguasa Gunung Merapi yaitu Nyai Endang Cuwiri, lahar panas akibat letusan Merapi menghancurkan basis perkemahan tentara Pajang termasuk sebagian besar Prajurit Pajang sendiri. Pajang akhirnya kalah dan memutuskan untuk mundur kembali ke wilayahnya. Saat perjalanan pulang ke Pajang itulah Sultan Hadiwijoyo terjatuh dari gajah tunggangannya sehingga menderita luka dalam dan saat sampai di Istana Pajang Sultan wafat.
    Dengan kemenangan Mataram atas Pajang, maka Mataram menjadi negeri yang bebas dan merdeka tanpa menjadi bawahan negeri manapun. Pada akhir tahun 1587 Mataram menjadi sebuah Kerajaan Islam, Danang Sutowijoyo menjadi raja pertamanya bergelar Kanjeng Panembahan Senopati Ing Alogo, dan wilayah sekitar Istana Mataram seluas 3,07 km persegi menjadi pusat pemerintahan atau Ibukota negara dengan nama Kotagede. Dengan bergantinya Zaman dari masa Kerajaan Mataram Islam sampai kini menjadi wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kotagede tetap menyimpan pesona suasana klasik masa silam dan meninggalkan situs-situs Istana Mataram yang masih dapat dilihat.

Gapura Pintu Masuk Kotagede
Dari Wilayah Utara
    Kotagede terletak di sisi selatan pusat kota Yogyakarta, secara administratif masuk wilayah Kotamadya Yogyakarta. Jaraknya sekitar 5 km saja dari pusat kota Jogja menuju ke arah tenggara, bisa ditempuh melalui Jalan Kusumanegara lurus ke timur melewati Kebun Binatang Gembira Loka setelah sampai di perempatan lampu merah maka ambil arah kanan atau belok ke kanan lalu jalan lurus saja menuju arah selatan melewati Jalan Gedongkuning tidak perlu belok-belok, kira-kira sekitar 1,5 km sudah sampai di Kotagede dengan melewati sebuah gapura pintu gerbang seperti di foto atas yang kami tampilkan tersebut. Yang jelas untuk sampai di Kotagede tidak sulit, jika memang masih kesulitan maka bisa menanyakan kepada warga sekitar, para tukang becak, atau kepada Polisi lalu lintas yang bertugas di pos Polisi di seputaran perempatan lampu merah jalan yang dilalui.

Jl. Kemasan Yang Membelah Kotagede
    Setelah melewati gapura gerbang masuk Kotagede, maka kita akan melewati Jalan Kemasan, di jalan utama menuju wilayah Kotagede inilah kita akan menemui banyak rumah atau bangunan tempat perdagangan kerajinan perak. Kotagede memang sangat terkenal dengan kerajinan peraknya sehingga tempat ini mendapat julukan sebagai kota perak. Banyak desain kerajinan perak yang bisa kita beli di tempat ini, misalnya cincin perak. gelang perak, kalung perak, hiasan-hiasan dinding dari perak, alat-alat rumah tangga, lampu hias, dan apapun kerajinan yang terbuat dari perak tersedia disini.

Pasar Kotagede
    Dari Jalan Kemasan lurus ke selatan kita akan menemukan pasar, pasar ini konon adalah pasar tertua di Yogyakarta, namanya Pasar Legi Kotagede, usianya sama atau sezaman dengan kerajaan Mataram, kini Pasar Legi sudah banyak mengalami renovasi sehingga bentuknya pun juga sudah seperti pasar jaman sekarang pada umumnya. Pasar ini paling ramai pengunjung adalah setiap hari pasaran Legi (penanggalan dalam sistem kalender Jawa), saat pasaran Legi tiba, pengunjung bisa membludak melebihi kapasitas area pasar sehingga membuat jalan di sekitarnya macet. Di pasar ini diperdagangkan segala macam bahan makanan sehari-hari, alat-alat rumah tangga, kerajinan, dan satwa seperti unggas pun juga diperjualbelikan di pasar ini.

Jl. Mondorakan, Salah Satu Jalan
Utama Di Wilayah Kotagede
    Di sebelah barat wilayah kotagede atau arah ke barat dari Pasar Legi Kotagede ada sebuah Jalan bernama Jalan Mondorakan, dinamakan Jalan Mondorakan karena untuk mengenang Patih pertama dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam yaitu Ki Juru Martani yang bergelar Patih Mondoroko. Jalan Mondorakan juga terdapat berbagai tempat yang memperdagangkan kerajinan perak. Jalan ini tidak begitu lebar, tetapi saat kita lewat disini akan terasa nuansa berbeda, nuansa yang penuh dengan suasana klasik dan menarik. Pembaca dan sahabat Blogger yang pernah lewat disini pasti bisa merasakannya, jika belum pernah bisa dicoba saat datang ke Jogja untuk melewati jalan ini. maka akan terasa nuansanya.

Rumah Kalang, Terletak Di Kampung
Bodon Kotagede
    Keunikan lain di seputaran Jalan Mondorakan adalah terdapat bangunan klasik milik salah satu penduduk, bangunan ini terletak di gang Soka, sekitar Jalan Mondorakan. Bangunan ini berada di kampung yang bernama kampung Bodon, Rumah Kalang namanya. Rumah Kalang adalah milik seseorang bernama Rudy Pesik. Arsitektur bangunan ini mirip seperti tembok sebuah Istana bergaya eropa. Menurut keterangan warga sekitar yang pernah masuk kedalam Rumah Kalang ini, di dalamnya terdapat interior yang unik namun sangat megah, banyak koleksi-koleksi seni yang bernilai tinggi, dan terdapat banyak patung juga. Selain itu juga kental suasana mistisnya. Konon sebagian besar bangunan atau rumah di seputaran Kotagede memang sudah terkenal dengan nuansa mistisnya.

Gang Di Seputaran Rumah Kalang
    Sejarah Kampung Bodon adalah berasal dari nama Kyai Bodo, tokoh dan sesepuh penyebar Agama Islam sekaligus murid Sunan Kalijaga yang dihormati. Panembahan Senopati sangat menghormati tokoh ini karena selain sakti juga sangat alim, bijaksana, selalu memberikan nasehat yang baik, dan selalu bersedia membantu Panembahan Senopati jika Panembahan Senopati menemui kesulitan. Maka untuk menghormati Kyai Bodo Panembahan Senopati memberikan sebidang tanah sebagai kediaman Kyai Bodo bersama seluruh keluarganya, dan sampai sekarang Kampung Bodon sebagai jejak peninggalan Kyai Bodo masih tetap lestari dan terjaga walaupun rumah-rumah penduduknya sudah berubah menjadi rumah modern karena penyesuaian jaman.

Kampung Bodon Kotagede
    Selain di Kampung Bodon, masih banyak terdapat kampung-kampung lain di wilayah Kotagede yang menawarkan suasana klasik dan membuat hati menjadi teduh, walaupun gang-gang atau jalan di dalam kampung wilayah Kotagede tidak lebar bahkan sempit hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua, namun justru itulah sisi menarik darinya, seolah kita akan terbawa kepada kenangan masa lalu yang membuat hati syahdu. Ditambah lagi dengan keramahan penduduknya akan membuat kita betah berlama-lama untuk mengunjungi atau berjalan-jalan menyusur perkampungan wilayah Kotagede ini.

Perkampungan Di Wilayah
Timur Kotagede 
    Perkampungan di seputaran wilayah Kotagede memang terdapat banyak bangunan yang telah ditetapkan pemerintah kota Jogja sebagai cagar budaya, selain itu kampung-kampung di seputaran Kotagede juga telah ditetapkan sebagai kampung ramah anak karena semua anak kecil bisa bermain dan belajar dengan aman dan nyaman di kampungnya masing-masing. Di Kotagede sendiri terdapat 3 Kelurahan, yaitu Kelurahan Purbayan, Kelurahan Prenggan, dan Kelurahan Rejowinangun. Jumlah seluruh penduduk di Kecamatan Kotagede pada sensus tahun 2014 adalah sebanyak 32.246 jiwa (sumber : Bagian Kependudukan Biro Tata Pemerintahan Setda DIY).

Perkampungan Di Kotagede Sebagai
Kampung Yang Ramah Anak
    Dahulu sebelum tahun 1952, sekitar tahun 1940-1945 an Kotagede adalah wilayah milik Keraton Kasunanan Surakarta, tetapi akhirnya diserahkan kepada Yogyakarta karena ditinjau dari segi geografisnya akan lebih baik jika masuk menjadi bagian Yogyakarta, selain karena terlalu jauh dari Surakarta tentunya pemerintah Surakarta juga akan sedikit kesulitan untuk mengontrol tata pemerintahannya sehingga akan lebih bijak bila diserahkan kepada Yogyakarta agar lebih mudah dalam pengontrolannya. Dan pada tahun 1952 wilayah Kotagede resmi masuk menjadi bagian wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat (Daerah Istimewa Yogyakarta).

Kampung Ledok Kotagede
    Mengulas mengenai Kotagede tentunya kurang lengkap jika tidak mengulas pula tentang situs-situs peninggalan Kerajaannya dimasa silam. Ada beberapa situs yang masih bisa dilihat sampai saat ini, situs-situs tersebut berupa bangunan dan batu-batu pusaka. Situs atau peninggalan sejarah yang pertama adalah Makam Raja-Raja Mataram, disinilah Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Panembahan Hanyokrowati (Raja Mataram yang kedua pengganti Panembahan Senopati), Ki Juru Martani dan beberapa tokoh kerabat kerajaan Mataram Islam dimakamkan. Di dalam area situs ini terdapat pemandian keluarga raja yang bernama Sendang Seliran, ada 2 sendang yaitu sendang putri dan sendang kakung, sendang putri tempat untuk pemandian para istri dan putri raja, sedangkan sendang kakung untuk pemandian para putra raja. Ada pula sebuah makam yang unik di dalam komplek area makam ini, yaitu ada sebuah nisan makam yang separuh bagiannya terletak di luar tembok komplek pemakaman dan separuh bagiannya lagi terletak di luar tembok area pemakaman. Makam tersebut adalah makam dari Ki Ageng Mangir Wonoboyo, musuh Panembahan Senopati yang untuk menaklukkannya harus menggunakan umpan putri Keraton yang bernama Sekar Pembayun (Putri sulung Panembahan Senopati) melalui ikatan pernikahan dan pada saat Ki Ageng Mangir Wonoboyo datang ke Mataram untuk menunjukkan rasa hormat sebagai tanda bakti kepada Panembahan Senopati yang telah menjadi mertuanya, saat itu juga hidupnya diakhiri lalu jasadnya dikuburkan di komplek makam raja-raja Mataram dengan separuh nisan berada di dalam dan separuh bagian lagi di luar komplek area pemakaman sebagai simbol seorang menantu sekaligus juga seorang musuh.

Makam Raja-Raja Mataram Islam
    Kemudian situs selanjutnya bisa kita lihat di sebelah selatan komplek makam raja-raja Mataram kira-kira berjarak 100 meter, disana ada sebuah bangunan berbentuk benteng namun sudah tidak utuh lagi, bangunan tersebut bernama Benteng Cepuri, terletak di Kampung Ndalem. Kampung ini dulunya adalah bagian utama kediaman raja, benteng ini adalah tembok tebal yang mengelilingi Keraton mataram, ada bagian yang roboh di benteng ini, konon menurut cerita dihancurkan oleh Raden Ronggo dengan pukulannya. Raden Ronggo adalah salah satu putra Panembahan Senopati yang terkenal sangat sakti.

Situs Benteng Cepuri
    Di sebelah barat situs Benteng Cepuri kampung Ndalem ini juga ada sebuah bangunan tua yang bisa digolongkan sebagai cagar budaya, kata penduduk sekitar konon rumah ini sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram berdiri atau seusia dengan Keraton Mataram, menurut keterangan penduduk yang rumahnya berdekatan dengan rumah ini sering terjadi kejadian mistis yang disebabkan oleh perbuatan makhluk halus. Rumah ini memang di beberapa bagian telah mengalami perbaikan atau perubahan seperti pada bagian atapnya, tetapi bagian intinya seperti dinding rumah masih menggunakan kayu sejak dari dibangunnya.

Rumah Tua Yang Konon Peninggalan
Zaman Kerajaan Mataram Islam
    Situs lainnya adalah bekas singgasana Panembahan Senopati yang disebut dengan situs Watu Gilang, situs ini terletak di sebelah selatan dari situs Benteng Cepuri Kampung Ndalem, jaraknya hanya sekitar 75 meter saja. Situs Watu Gilang ini terletak diantara 2 pohon beringin kembar yang usianya seusia dengan Kerajaan Mataram. Watu Gilang ini adalah sebuah batu hitam berjenis andesit dengan ukuran sekitar 3 x 4 meter, batu ini didapatkan Panembahan Senopati dari hutan Lipuro, yaitu wilayah selatan Mataram yang kini masuk wilayah Kabupaten Bantul Yogyakarta. Saat bertapa diatas batu inilah Panembahan Senopati mendapatkan Wahyu Keprabon (wahyu untuk menjadi raja) sehingga bisa menjadi raja. Selain Watu Gilang disini juga terdapat batu bulat berukuran sebesar bola sepak yang bernama batu Gatheng, batu ini adalah batu mainan Raden Ronggo, batu ini sangat keras tapi oleh raden Ronggo dengan mudah dilubangi dengan jari-jarinya. Kemudian ada juga batu berukuran besar berbentuk tempayan bernama batu Genthong, batu ini adalah tempat mengambil wudhu Ki Juru Martani dan Ki Ageng Giring yang merupakan penasehat Panembahan Senopati. Konon dengan kesaktian kedua penasehat tersebut batu tersebut tidak perlu di isi dengan air, tetapi cukup menyentuhnya maka keluarlah air dengan sendirinya dari dalam gentong.

Situs Watu Gilang
    Sebelah selatan dari situs Watu Gilang berjarak sekitar 100 meter ada situs benteng lagi, namanya situs Benteng Cepuri Purbayan, situs ini juga merupakan tembok tebal yang mengelilingi lingkungan Istana Mataram. Tinggi tembok benteng situs ini kurang lebih 2 meter dengan ketebalan dindingnya sekitar 1 meter. Situs ini berdekatan dengan sungai Gajah Wong yang merupakan salah satu sungai terbesar yang membelah Kota Yogyakarta.

Situs Benteng Cepuri Purbayan
    Situs benteng selanjutnya terletak di sebelah tenggara Kotagede yang dulu merupakan benteng sambungan dari benteng Cepuri Purbayan, situs ini bernama Benteng Bokong Semar. Situs ini sama seperti situs benteng Cepuri lainnya, yaitu sebuah tembok tebal yang mengelilingi Keraton Mataram, tetapi situs benteng ini berbentuk melengkung sehingga menyerupai bokong/pantat. Dinamakan Bokong Semar karena bentuknya yang melengkung mirip bokong, dan Semar merujuk kepada salah satu tokoh Punakawan dalam kisah Pewayangan.

Situs Benteng Bokong Semar
    Dengan semakin berubahnya Zaman dan majunya peradaban manusia memang membuat wilayah bekas ibukota Kerajaan Mataram Islam ini lenyap dan kehilangan berbagai peninggalan pentingnya. Bangunan Keraton memang sudah hilang dan tidak bisa disaksikan lagi, tapi bekas peninggalannya seperti situs-situs benteng yang telah diulas diatas menunjukkan bahwa masih ada sisa-sisa kebesaran dan keagungan peradaban Islam di wilayah Yogyakarta ini pada masa 500 tahun silam. Secara histori, Kotagede memang layak dijadikan salah satu warisan budaya sejarah bangsa Indonesia.
    Berwisata menelusuri Kotagede akan membuat kita takjub dan kagum akan sejarah kebudayaan ratusan tahun yang lalu, betapa leluhur kita ternyata sudah mampu menguasai sistem tata pemerintahan sebuah negara seperti pembangunan fisik kota pemerintahannya, kekuatan militernya, dan kestabilan kondisi perekonomiannya. Para raja Mataram Islam adalah pemimpin yang tangguh dan mumpuni dalam segala hal, mulai dari Panembahan Senopati, Panembahan Hanyokrowati, sampai Sultan Agung Hanyokrokusumo yang meraih puncak kejayaan Mataram Islam sebelum akhirnya terpecah menjadi 2 bagian yaitu wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Sisa-sisa kebesaran Mataram saat ini pun masih bisa kita saksikan melalui generasi penerusnya yaitu Keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta. Seperti kebanyakan yang terjadi pada kerajaan-kerajaan di seluruh Indonesia, hampir semuanya pecah dan terbagi menjadi beberapa wilayah bahkan hancur sama sekali karena akibat adu domba atau politik Devide et Impera penjajah Belanda. Mataram pun akhirnya juga pecah menjadi Jogja dan Solo akibat politik Belanda tersebut melalu Perjanjian Giyanti tahun 1755.

Kotagede, Warisan Budaya Nusantara
    Nah pembaca dan sahabat Blogger tercinta, demikianlah sedikit ulasan dari sudutyogya tentang sebuah tempat wisata yang berupa kampung bersejarah peninggalan atau bekas Ibukota Kerajaan Mataram Islam bernama Kotagede. Sebuah warisan budaya nusantara yang luhur dan kini hanya terlihat sisa-sisa peninggalannya saja akan tetapi nuansa kebesarannya masih dapat dilihat dan dirasakan. Di lain kesempatan sudutyogya akan mengulas kembali berbagai obyek wisata, dunia kuliner, dan segala hal menarik di kota istimewa ini. Salam Indonesia!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENIKMATI KESEJUKAN LERENG GUNUNG MERAPI DARI TAMAN GARDU PANDANG MERAPI

    Sahabat Blogger dan pembaca dimanapun anda berada, ada sekian banyak tempat wisata di Yogyakarta yang menawarkan berbagai keindahan da...